Senin, 24 Juni 2013

Siapakah Hario Kecik?



Jenderal Suhario Padmodiwirio – atau Hario Kecik – adalah pejuang 45 dan salah satu pendiri kesatuan militer Republik Indonesia. Ia juga satu-satunya perwira militer dari Indonesia yang memiliki pengalaman global system di dua pusat kekuasaan dunia saat Perang Dingin berkecamuk, yaitu di Fort Benning, Georgia, AS (1956) dan Warga College Suvorov, Moscow (1965). Di dalam negeri ia memiliki pengalaman tempur sejak 24 tahun langsung dalam Battle of Surabaya, dan diikuti dengan masa kemerdekaan hingga tahun 1949. Kemudian antara tahun 1959 hingga 1965 selaku Panglima Kodam di Kalimantan Timur Jend. Hario adalah pucuk pimpinan militer dalam Konfrontasi melawan Inggris/ Malaysia.
Hario Kecik adalah militer lapangan, atau dalam julukan khusus Bung Karno pada panglima kesayangannya ini adalah “wong alasan” (orang rimba). Ia bergerak di luar pengaruh partai politik manapun, termasuk dengan partai komunis seperti dituduhkan selama ini. Ideologi Hario Kecik hanya satu, yakni melaksanakan etik Angkatan 45 untuk tidak pernah mengkhianati Bung Karno selaku symbol Republik hasil revolusi kemerdekaan. Untuk itu pula ia dipenjara- tanpa pengadilan – sekitar empat tahun oleh Rezim Soeharto. Terhadap hal inipun Hario Kecik memilih untuk tidak berkubang dalam dendam. Karena itu ia tetap mampu memproduksi pikiran dengan kreasi khas orang berjiwa merdeka.
Sebelum buku ini Hario Kecik telah menulis tiga memoir dan enam buku Pemikiran Militer – yang masing-masing rata-rata berjumlah 500 halaman. Kemudian buku fiksi yang ditulisnya tak kurang dari lima novel dan satu naskah scenario film. Penerbit buku-buku itu adalah Yayasan Obor Indonesia, LKiS, Pustaka Utan Kayu, dan Abhiseka Dipantara.

Rabu, 12 Juni 2013



MENUJU PEMILU 2014 
Catatan PANGLIMA terakhir BUNG KARNO


Hario Kecik atau Mayjen. (Purn.) Suhario Padmodiwirio (kini, 92 th.) adalah panglima Bung Karno di KODAM Mulawarman Kalimantan Timur (1959-1965) saat Perang Konfrontasi. Setelah bertempur dalam Revolusi  Surabaya 1945 dan Perang Gerilya Kemerdekaan, kemudian   ia menjalani pendidikan tinggi militer di Fort Benning, AS (1956), dan Akademi Suvorov di Uni Soviet (1968).Hario Kecik kenal baik nalar global system Perang Dingin maupun peralihannya kemudian di abad 21. 


Hario Kecik  adalah seorang militer intelektual yang mampu mengemukakan pandangannya secara terus terang dan terbuka. (Dr. Anhar Gonggong - sejarahwan)


Kitab ini menawarkan sikap yang tetap setia dan terbuka. Setia pada revolusi dan terbuka pada nalar yang sehat dan cerdas. (Dr. Emmanuel Subangun - sosiolog)                                                                                        

Buku ini harus dibaca oleh orang-orang Indonesia, yang merasa menerima amanat untuk menjaga sebaik-baiknya Negara Kesatuan Republik Indonesiayang dititipkan oleh Soekarno-Hatta.  (Dr. Sri Bintang Pamungkas - aktivis politik)
  

Membaca buku ini kita akan tahu bahwa Hario Kecik adalah tentara yang tak pernah berhenti memikirkan Indonesia.   (Stanley Adi Prasetyo - aktivis HAM)







               

 


 

Rabu, 06 Maret 2013

BUKU PERTEMPURAN SURABAYA

Buku ini tidak menempatkan satu tokoh lebih penting dari yang lain. Berkisah tentang perjuangan arek-arek Surabaya yang lenyap dari panggung sejarah.

Anda dapat menemui buku ini di:
1. Toga Mas Affandi Yogyakarta
2. Toga Mas Diponegoro Surabaya
3. Toko Buku Uranus Ngagel, Surabaya
4. Toko Buku Uranus HR. Muhammad
5. Toko Buku Pandora Semarang
6. Tobucil, Bandung
7. Toko Buku Leksika, Jakarta
atau pesan online lewat Blog ini.

Harga buku Rp 45.000.



Selasa, 10 Juli 2012

Cover Buku Intelijen

cover ini merupakan lukisan karya Hario Kecik yang menggambarkan kompleksitas dunia intelijen



Rabu, 18 April 2012

alles berust op geweld


PADA PIHAK MANA KALIAN BERDIRI ?
Kata-kata “alles berust op geweld” adalah kalimat yang ditulis Hario Kecik “puluhan tahun yang lalu” dalam buku “puisi” milik gadis mahasiswi fakultas kedokteran –seorang Indo-Minahasa yang bernama Zus Ratulangi- dan artinya “segalanya bertopang atas kekerasan”. Dan itulah intipati politik, yakni kekerasan!
“Geweld” artinya memang “kekerasan”, tetapi jika “geweld...enaar”, maka artinya adalah orang yang sewenang-wenang, alias tiran. Dan dalam arti itulah politik Indonesia harus dimengerti. NKRI berhadapan dengan kekuatan asing yang tak lain adalah berwatak “geweldadig”, yakni kolonialis Belanda dan Inggris yang bukan saja di masa silam menguasai NKRI, tetapi tetap saja sampai hari ini, jika kita mampu dengan jeli mengobservasinya. Dan karena itu, dengan latar belakang “politik” seperti itu lalu aneka macam tokoh dari kalangan tentara (seperti Yani atau Nasution), dari kalangan sipil, antara lain pengusaha Cina sampai dengan para pemikir mengenai ideologi Negara, semua diletakkan sebagai para pemain di pentas “upaya hegemoni kolonial” itu. Dan pertanyaan akhir : pada pihak mana kalian berdiri? Jika kalian pada pihak NKRI, kalian adalah kawan, tetapi jika berdiri pada pihak lain itu maka dengan sendirinya garis batas harus ditarik dengan tegas!